Covenant Protestant Reformed Church
Bookmark and Share

Hidup yang Tersendiri

Pdt. Angus Stewart

 

(1)

I Korintus 7:15 mengatakan keinginan hidup yang tersendiri secara fisik akan seorang yang percaya, yang ditinggalkan oleh pendamping yang tidak percaya: “Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”.

Banyak orang menduga bahwa “tidak terikat” berarti bahwa orang percaya yang hidup tersendiri adalah tidak lagi menikah dan karenanya bebas untuk menikah lagi. Akan tetapi, terdapat masalah yang tidak dapat teratasi dengan pandangan ini.

Pertama, nas ini tidak mengatakan mengenai pernikahan lagi semacam itu. Pernikahan lagi, ketika pendamping seorang yang masih hidup, telah diterasingkan dalam konteks (nas) sebelumnya. Kedua, dan hanya dua pilihan diberikan bagi orang yang bercerai: entah ”tetap tidak menikah” atau ”didamaikan” dengan suami atau istri anda (11). Juga pada akhir pasal yang agung ini ketika membahas orang Kristen lajang [duda atau janda – terj.] dan yang menikah, sang rasul melarang pernikahan kembali ketika pendamping mereka masih hidup (39).

Kedua, Kristus mengajarkan bahwa percabulan adalah satu-satunya dasar untuk bercerai: “Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Mat. 5:32; bdk. 19:9). Hidup menyendiri bukanlah dasar untuk bercerai, karena Kristus hanya mengizinkan satu dasar dan bukan dua dasar.

Ketiga, pandangan ini menyatakan pernikahan sebagai ikatan di mana si suami dan si istri sebagai dua hamba dalam status pelayan. Karena, jika orang Kristen yang hidup tersendiri itu mampu menikah lagi, ”tidak terikat” itu harus berarti bahwa mereka tidak dalam status menikah. Namun Alkitab mengajarkan bahwa pernikahan adalah penyatuan ”satu daging” antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Kej. 2:24), suatu kovenan persekutuan (Mal. 2:14), di mana gambaran ikatan Kristus dengan mempelai-Nya, yakni jemaat (Ef. 5:22-33). Meskipun dosa manusia, pernikahan mungkin dialami sebagai semacam ikatan. Bagaimanapun, jika pengalaman ini (dan bukan pernikahan itu sendiri) dikatakan menjadi ’ikatan’ di I Kor. 7:15), maka nas ini sekadar mengatakan bahwa kesukaran hidup dengan orang yang belum percaya adalah lebih dari sekali ditinggalkan mereka [pendamping mereka]. Maka nas tersebut tidak akan berkata apa pun mengenai ikatan pernikahan itu sendiri, yang terputuskan atau pun akan memperbolehkan untuk menikah lagi.

Keempat, Kitab Suci mengajarkan bahwa Allah memutuskan ikatan pernikahan hanya saat kematian. ” Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (IKor. 7:39). ”Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Rm. 7:2-3).

Interpretasi yang tepat terletak dalam pemahaman yang benar dari frasa kunci ”tidak terikat” (15). Mereka yang ”terikat” adalah budak, mereka yang menundukkan kepada perhambaan. Orang percaya yang tersendiri bukanlah diperhamba kepada pasangan mereka dan karenanya tidak harus mengejar mereka dan menekan mereka untuk kembali. Karenanya ”tidak terikat” tidak berarti ”tidak terkekang dengan istrimu”. ”ikatan (bound)” dan ”kekang (bondage)” adalah keduanya terlihat serupa dan kata-kata yang berbunyi serupa, tetapi mereka berbeda secara penekanan [dalam LAI, tidak dibedakan, diterjemahkan ‘terikat’]. Kata-kata Yunani yang kita terjemahkan ”bound” (IKor. 7:27,39) dan ”bondage” (15) agaknya berbeda. Tidak pernah Firman Tuhan menjelaskan kondisi kudus yang bersifat pernikahan sebagai ”bondage”! ”Bondage” adalah perhambaan, di mana ”bound” mengatakan sebuah koneksi, kini, ikatan pernikahan, persekutuan satu daging (27, 39). RSV (Revised Standard Version) dan NIV (New International Version), mungkin demi mempromosikan interpretasi yang salah dari I Korintus 7:15, memelintir Firman Allah. Orang percaya yang tersendiri, oleh RSV dan NIV diterjemahkan, ”tidak terikat [dalam pernikahan]”.

Menjadi “tidak terikat”, orang percaya yang tersendiri disebut ”hidup dalam damai sejahtera” (15). Dia tidaklah merasa bersalah atau malu atau cemas. Orang percaya yang tersendiri telah terabaikan karena imannya oleh pasangan yang tidak percaya dan dia tidak melakukan suatu yang salah dan tidak tertuduh. Dalam kondisi semacam ini, Anak Allah boleh menerima dan berdiam dalam pemeliharaan Allah dan tidak perlu pergi mengejar pasangannya di mana pun pasangannya berada. Akhirnya, orang yang percaya memiliki damai sejahtera dengan Allah melalui pembenaran Yesus Kristus (Rm. 5:1), dan buah Roh Kudus yang adalah damai sejahtera (Gal. 5:22). Allah memanggil pasangan Kristen yang ditinggalkan/tersendiri untuk hidup dalam damai sejahtera, karena dia, dalam Yesus Kristus, adalah suami kita yang setia, yang mengasihi dan menyediakan bagi kita. Dia akan selalu ada bersama kita dan Dia tidak pernah meninggalkan kita.


(2)

Setelah kita melihat dalam Buletin yang lalu di mana I Korintus 7:15 tidak mengajarkan bahwa orang percaya yang ditinggalkan tersebut bebas untuk menikah lagi, kita berpaling kepada tradisi akan interpretasi dari ayat ini. Di sini kami mengakui bahwa kami berbeda dari kaum Reformer.

Bagaimanapun, kami berada jauh dalam kedudukan kami. Di antara para penafsir atas surat I Korintus yang setuju dengan penafsiaran kami adalah pemberita theologis dari berbagai tempat: Bengel dan Weiss (orang Jerman), Godet (orang Swiss), Grosheide (orang Belanda; NICNT), Albert Barnes dan A. T. Robertson (orang America), dan Alfred Plummer, Gordon Fee dan C. K. Barrett (orang English). Theolog lainnya termasuk Jemaat the New England, Timothy Dwight, dan orang Baptis Amerika, W. E. Best.

Ini juga kedudukan historis dari gereja-gereja di Anglikan – sebagai saksi dalam janji pernikahan yang terkenal "hingga maut memisahkan kita" – dan doktrin perkumpulan persaudaraan. Banyak gereja Reformed Belanda di seluruh dunia juga memegang kesaksian ini. Kemudian, gereja mula-mula dan gereja medieval yang begitu serempak untuk menolak bahwa orang yang ditinggalkan boleh menikah lagi. Dalam catatan pertama, orang yang ditinggalkan dari konsensus yang am adalah sekitar tahun 400 AD dan yang kemudian terjadi sekitar tahun 800 AD. Seluruh sinode gereja, untuk pertama kali selama 1500 tahun, menyampaikan topik yang mengajarkan satu dasar bagi perceraian (percabulan) dan yang menikah lagi ketika pasangannya masih hidup adalah melakukan perzinahan.

Sejauh yang saya mampu untuk temui, pembela kehendak bebas yang kukuh, Erasmus adalah orang pertama yang menghancurkan konsensus katolik di waktu modern. Dalam pandangan Erasmus, mungkin kaum reformer bereaksi dalam bagian pandangan Katolik Roma yang salah bahwa pernikahan adalah suatu sakramen. Pada umumnya, mereka yang memandang (secara salah) kovenan dan karenanya kovenan pernikahan sebagai suatu kontrak adalah mereka yang memegang bahwa hal itu diselesaikan karena ditinggalkan, sedangkan kami yang percaya bahwa kovenan dan karenanya kovenan pernikahan adalah penyatuan satu daging atau ikatan (Kej. 2:24; Mat. 19:5-6) mengakui bahwa Allah semata yang memutuskan ikatan tersebut pada maut (Rom. 7:2-3; IKor. 7:39).

Karenanya, berdasarkan Firman Tuhan, kita harus tidak setuju dengan pokok ini dengan Pengakuan Iman Westminster (WCF) yang memperbolehkan pernikahan lagi dari mereka yang ditinggalkan oleh pasangan mereka dan dari ”pihak yang bersalah” (WCF 24.5-6). Keberatan kami di sini adalah bertentangan dengan pengakuannya yang paling unggul akan Firman Tuhan sendiri: ”Hakim Tertinggi, yang olehnya semua perselisihan pendapat perihal agama mesti diputuskan, dan semua dekret konsili-konsili, pendapat pengarang-pengarang kuno, ajaran manusia, dan ucapan-ucapan Roh melalui orang-orang perseorangan harus diperiksa, dan yang keputusan-Nya wajib kita terima dengan patuh, tidak lain adalah Roh Kudus, yang bersabda dalam Kitab Suci.” (WCF 1.10).

Kita tidaklah sendiri dalam melihat kelemahan dalam Pengakuan Westminster 24, ”Mengenai Pernikahan dan Perceraian”. Meskipun bukan yang paling banyak, banyak denominasi Presbiterian tidak berpegang pada Pengakuan Iman Westminster 24:4 yang menangani kasus pernikahan sedarah dan inces (mis., The Testimony of the Reformed Presbyterian Church of Ireland, p. 70). Ketika kita percaya bahwa kesalahan pengakuan iman yang memperbolehkan dua dasar untuk bercerai (perzinahan dan karena ditinggalkan [pasangannya]; WC 24:6) sedangkan Kristus hanya memperbolehkan satu dasar (perzinahan; Mat. 5:32; 19:9), banyak orang Presbiterian dan Rekonstruksionis mengkritik pengakuan iman dari sisi lain, karena mereka mengizinkan perceraian atas banyak dasar (mis., ”dengan alasan apa saja”/”tidak cocok” [KJV]), seperti pendapat orang Farisi (bdk. Mat. 19:3).

Jika Pengakuan Iman Westminster 24:5 mengizinkan pernikahan lagi hanya bagi “pihak yang tidak bersalah”, banyak gereja Presbiterian tidak menganggap pengakuan iman mereka juga dengan mengizinkan ”pihak yang bersalah” untuk menikah lagi. Gereja-gereja Presbiterian yang lain tidak akan menikahkan seorang pun yang bercerai, baik itu ”pihak yang tidak bersalah” maupun ”pihak yang bersalah”, karena kesulitan untuk menentukan pihak mana yang memang bersalah secara praktis. Maka mereka percaya bahwa Pengakuan Iman Westminster 24:5 tidak dapat dijalankan.

Theolog Presbiterian yang ternama, John Murray telah menunjukan suatu “lubang kecil” dalam Pengakuan Iman Westminster 24:6. Artikel ini mengatakan, ”hidup yang ditinggalkan sedemikian tidak mungkin dapat dipulihkan oleh gereja atau magistrat sipil” bahwa memutuskan pernikahan dan mengizinkan pernikahan lagi setelahnya. Bagaimanapun, sekalipun I Korintus 7:15 mengizinkan untuk pernikahan lagi setelah ditinggalkan – sebenarnya bukanlah begitu (lihat Buletin XI:3 [Juli, 2006]) – hal itu hanya mengizinkan seorang percaya yang sudah ditinggalkan itu untuk menikah lagi dengan pasangan yang dulu belum percaya itu. Pengakuan Iman Westminster 24:6 akan mengizinkan orang yang ditinggalkan, baik yang belum percaya atau pun yang percaya untuk menikah lagi dengan orang Kristen lainnya, di mana hal ini bertentangan bahkan merupakan interpretasi yang keliru dari I Korintus 7:15.

Pengakuan Iman Westminster (PW) 24:5 mencari pembenaran pernikahan lagi dari ”pihak yang tidak bersalah” dengan berargumen bahwa ”seolah-olah pihak yang menentang/bersalah telah mati”. Akan tetapi, Kitab Suci tidak menyebutkan apa pun mengenai konsep ”seolah-olah mereka telah mati”, yang kemudian mengizinkan menikah lagi. ”Pihak yang bersalah” masih hidup; betapapun demikian hal itu tidak harus bercerai. Roma 7:2-3 (di mana yang dikutip PW 24:5) dan I Korintus 7:39 menyatakan bahwa seorang diikat dalam pernikahan kecuali pasangan mereka benar-benar ”meninggal” dan secara fisik. Pernikahan lagi ketika pasangannya masih hidup merupakan hal yang tidak ”sah” (sesuai PW 24:5); itulah perzinahan: ” Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup... Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Rom. 7:2-3).


(3)

Instruksi ini dituliskan bahwa mereka yang diperbolehkan menikah lagi dari orang percaya yang ditinggalkan dan “pihak yang tidak bersalah” telah mengetahui hal ini sulit untuk ”mempertahankan batasan ini”. Luther bahkan membolehkan bigami (beristri dua) dari Philip dari Hesse, membuat skandal yang besar di seluruh kerajaan Kekristenan [di Eropa]. Seorang Protestan Itali yang ditinggalkan istri dan anak-anak Katolik Roma dan pindah ke Jenewa. Laki-laki yang ”percaya” meninggalkan istrinya, yang tidak percaya, akan tetapi Calvin memperbolehkan dia untuk menikah lagi ketika istrinya masih hidup. Para reformator tidak memiliki perkataan yang pasti dalam doktrin pernikahan.

Lama kelamaan dalam “angkatan yang jahat dan tidak setia ini” (Mat. 16:4), gereja-gereja terjatuh dalam pernikahan, perceraian, dan pernikahan lagi. Para jemaat dipimpin oleh para hamba Tuhan, penatua, dan diaken yang menikah lagi. Orang yang bercerai dan menikah lagi menghadiri Perjamuan Kudus, dan terkadang mereka berbagian pada meja perjamuan dalam jemaat atau denominasi yang sama. Di berbagai tempat, beragam dasar perceraian diterima dan tidak memiliki satu dasar, perzinahan. Izin untuk menikah lagi hanya bagi ”pihak yang bersalah” bukan saja tidak alkitabiah (Rm. 7:2-3: IKor. 7:39), banyak contoh ini merupakan hal yang terbukti tidak stabil. Jika ”pihak yang tidak bersalah” bebas untuk menikah lagi, hal itu haruslah karena pernikahan itu sendiri telah disudahi. Dan jika pernikahan itu disudahi oleh ”pihak yang tidak bersalah”, maka hal itu harus disudahi oleh ”pihak yang bersalah” juga. Maka mengapa ”pihak yang bersalah” tidak dapat menikah lagi? Banyak jemaat dan sinode gereja tidak dapat menetapkan argumen ini. Tetapi mungkin hal ini lebih bersifat persuasif yang lebih nyata bahwa dengan mengajarkan dan mempraktikkan doktrin alkitabiah mengenai pernikahan, perceraian dan pernikahan lagi mungkin boleh mengakhiri sejumlah pergumulan spiritual yang dalam.

Sebab segala keretakan dalam doktrin pernikahan dipertahankan oleh semakin banyak orang-orang, inilah waktunya bagi tiap individu, keluarga dan gereja untuk memeluk doktrin pernikahan yang diajukan oleh Yesus Kristus, Sang kepala dan mempelai gereja.

Dalam serangan pada doktrin alkitabiah mengenai pernikahan, perceraian dan pernikahan lagi, kebenaran agung dari ikatan yang tidak terpatahkan antara Kristus dan gereja-Nya diserang, sebab Kristus adalah pancaran dari gereja-Nya (Ef. 5:22-33). Ikatan antara Kristus dan mempelai merupakan ikatan yang kovenan yang kekal, yang diwujudkan oleh anugerah yang tidak dapat ditolak dari Allah yang Mahaperkasa/Mahakuasa dan ditempa oleh Roh [Kudus] yang mendiaminya. Dosa-dosa kita yang jahat tidak dapat mematahkan ikatan ini; atau pun bahkan maut sekalipun. Karena Allah itu kekal, dan kematian kita adalah jalan masuk ke dalam kemuliaan, dan kematian Kristus adalah penebusan, pengudusan, dan pemuliaan kita (25-27).

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.