Covenant Protestant Reformed Church
Bookmark and Share

Kerakusan

Prof. Herman Hanko

 

Ketika pembaca tidak mengutip ayat secara khusus, dia bertanya, “mengapa gereja tampaknya seakan-akan diam dalam khotbah dan ajaran mengenai Kerakusan? Saya telah mengetahui hal ini dikatakan dulu, gereja mengkhotbahkan hal itu, dan hari ini kita mempraktikan hal itu!”.

Kitab menyebutkan dosa kerakusan lebih dari sekali, meskipun tidak sering. Di dalam Ulangan 21:20, bapa-bapa Israel diperintahkan untuk menangani seorang anak yang memberontak dan keras kepala kepada tua-tua dan mengatakan kepada mereka, Anak kami ini degil dan membangkang, ia tidak mau mendengarkan perkataan kami, ia seorang pelahap dan peminum”. Perintah untuk membawa anak yang durhaka kepada tua-tua masih ditekankan! Di dalam Ams. 23:20-21, Solomo menasihati umat Allah, ”Janganlah engkau ada di antara peminum anggur dan pelahap daging. Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin, dan kantuk membuat orang berpakaian compang-camping.” Orang Yahudi menganggap kerakusan sebagai dosa yang serius, sebab mereka menuduh Tuhan kita sebagai ”pelahap dan peminum” (Mat. 11:19; Luk. 7:34). Walaupun kerakusan tidak disebutkan di dalam Ams. 23:1-3, nasihat ini penting: ”Bila engkau duduk makan dengan seorang pembesar, perhatikanlah baik-baik apa yang ada di depanmu. Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu! Jangan ingin akan makanannya yang lezat, itu adalah hidangan yang menipu.” Dan hal itu tidak akan menyalahkan untuk membaca juga ayat 4-8.

Pembaca tersebut menduga dari pertanyaan ini bahwa kerakusan adalah sebuah dosa, tetapi menanyakan secara khusus mengapa pelayan-pelayan tidak pernah mengkhotbahkan hal itu. Saya tidak tahu jawabannya; mungkin ada banyak jawaban: pelayan itu sendiri makan terlalu banyak; ketika pelayan itu mengutuki kerakusan dari mimbar, umat akan menganggap teguran itu sebagai nasihat yang menggelikan (sebagaimana yang pernah terjadi pada saya); begitu banyak di dalam jemaat yang memiliki sifat rakus dan pelayan tidak ingin menentangnya; kerakusan secara umum dianggap sebagai dosa yang kurang penting, tidak layak menjadi perhatian kita.

Bagaimanapun, satu alasan mengapa para pelayan Tuhan jarang, jika pernah pun, mengkhotbahkan dosa tersebut, karena kerakusan tersebut susah untuk diartikan. Saya curiga bahwa seorang kurus yang makan segala yang dia inginkan dan tidak pernah bertambah gemuk akan diartikan kerakusan yang agaknya berbeda dari seorang yang makan dengan diet ketat dan mendapati bahwa segala makanan yang dimakannya tetap membuat dia menjadi gemuk.

Seorang pria yang makan dengan rakus dan tidak pernah bertambah gemuk, boleh menjadi bersalah akan dosa kerakusan, sekalipun seorang yang bobotnya berat mungkin tidak harus disalahkan demikian. Tidak semua orang yang gemuk adalah rakus, dan tidak semua orang kurus bebas dari dosa ini. Tidak mungkin tua-tua dalam gereja mencari mereka yang punya sifat rakus dengan memasuki tiap rumah dan menimbangi anggota-anggota keluarga di rumah itu sambil membawa timbangan.

Masalah selanjutnya dari signifikansi yang tidak sedikit ini adalah: Berapa banyak makanan yang boleh dimakan mereka sebelum mereka jatuh dalam dosa kerakusan? Atau, sama halnya, makanan apa yang boleh dia makan atau yang tidak boleh dia makan untuk menjauhkan dirinya dari dosa kerakusan?

Terdapat sedikit kaum rakus di negara-negara ketiga di mana masalah mereka bukanlah makan terlalu banyak, tetapi bagaimana seseorang boleh bertahan hidup. Kita yang hidup di dalam kelimpahan ini harus mempertimbangkan di mana dosa tersebut terjadi khususnya di masa kita dan di lingkungan kita.

Bagaimanapun, saya memang sejujurnya percaya bahwa kesadaran para pelayan yang bermaksud mengkhotbahkan seluruh nasihat Allah dan yang mencari untuk menerapkan Firman Tuhan akan mengkhotbahkan kerakusan ini kepada jemaat, tetapi mengkhotbahkan tanpa secara khusus menyebutkan dosa tersebut. Bagaimana mungkin?

Banyaknya dari apa yang kita makan dan minum dan jenis makanan dan minuman adalah semua persoalan dari kemerdekaan orang Kristen. Hal-hal itu termasuk pada bidang di mana tidak ada hukum yang harus dibuat, di mana orang Kristen, diurapi oleh Kristus sebagai raja di dalam rumah Allah, aturan-aturan kehidupannya oleh prinsip-prinsip Kitab Suci, dan di mana hati nuraninya sendiri adalah pembimbingnya – suatu hati nurani yang terikat oleh Firman Allah. Dan begitulah seorang pelayan yang mawas mengkhotbahkan prinsip-prinsip yang menekankan dosa ini. Apakah prinsip-prinsip ini?

Kita tidak memperhatikan mengenai apa yang akan kita makan dan minum, karena Allah, yang menjaga burung pipit, telah berjanji untuk menjaga kita (Mat. 6:25-34). Terlalu rakus terjadi karena kita gagal untuk menaati perkataan Tuhan Yesus. Begitu penuhnya makanan di kulkas, kita masih saja khawatir.

Kita bukanlah kaum asketis, yang tertarik untuk tetep kurus, menghindari karunia-karunia Allah. Kita menerima karunia-karunia itu dengan rasa bersyukur, menguduskan mereka dengan Firman Allah dan berdoa, dan menikmati hal-hal itu sebagai karunia-karunia Allah yang baik (1Tim. 4:1-5).

Kita tidak harus berpikir mengenai makanan dan minuman sebagai tujuan dari hal-hal tersebut, bersukacita demi kepentingan hal-hal itu, tetapi kita harus mengingat bahwa panggilan kita adalah mencari kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Mat. 6:33). Demikian, makanan dan minuman diberikan kita oleh Bapa kita di sorga, dan, ketika kita masih di atas bumi, untuk melakukan pekerjaan tersebut yang diberikan kita oleh Kristus sebagai tugas kita.

Jika kita berkubang di dalam makanan dan minuman yang mahal-mahal dan pelit kepada orang miskin, makanan yang kita makan tidak hanya akan membuat kita gemuk, tetapi hal itu akan menjadikan ’empedu’ yang pahit atas kita, di bawah kutukan Allah, Allah sangat perduli terhadap orang miskin.

Begitu pentingnya kebenaran kerajaan Allah hingga kewajiban hal itu melebihi makanan dan minuman. Sebagaimana bagi banyak orang, jika hal itu penting untuk memilih antara uang sekolah Kristen dan daging, antara berkhotbah dan kentang, antara misi dan buah persik, kepentingan-kepentingan kerajaan Allah harus diprioritaskan.

Dalam kelimpahan kita, ketika kita makan makanan yang berlebihan dan norak, hal itu tidak baik bagi kita, kita menjadi kaum yang rakus. Ketika kita makan makanan apa pun yang merugikan kesehatan kita, kita berdosa. Hal ini tidak berarti bahwa kita harus mendengarkan dokter sepanjang waktu atau membawa timbangan kecil di meja makan atau terus menerus menghitung kalori-kalori makanan, melainkan hal ini berarti bahwa aturan alkitabiah, ”Hendaklah kebaikan hatimu (kesederhanaanmu – KJV) diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! (Fil. 4:5) adalah kata-kata yang cukup dibutuhkan dalam keseharian kita. Dalam hal makan dan minum dan juga segala hal yang lain, marilah kita melakukan untuk kemuliaan Allah (1Kor. 10:31).

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.